Kamis, 12 April 2012

WAJIB BELAJAR 12 TAHUN

Mendiknas: Wajib Belajar 12 Tahun Harus Segera Dimulai
Oleh : Ags
Guna mempercepat peningkatan mutu sumber daya manusia (sdm) indonesia, pemerintah merencanakan segera memulai gerakan wajib belajar 12 tahun secara bertahap. Langkah ini mau tak mau harus dilakukan secepatnya untuk mengejar mutu SDM Indonesia yang terpuruk hingga mendapat predikat terendah di Asia.

Menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar menyatakan hal ini kepada wartawan di Jakarta pada Rakor Kesra 28 Maret 2002. Ditambahkan bahwa persaingan kerja juga sudah mensyaratkan calon tenaga kerja minimal lulusan SLTA.

Malik Fadjar mengakui, pemerintah memang masih terbebani oleh belum tuntasnya program wajib belajar sembilan tahun. Akan tetapi, keadaan tak memungkinkan lagi untuk menunggu hingga program wajib belajar sembilan tahun berakhir tahun 2008. Selanjutnya bagi lembaga pendidikan dan daerah yang sudah siap dipersilahkan untuk segera memulainya.

Pada prinsipnya - dengan adanya otonomi daerah - pemerintah tak lagi menginginkan pelaksanaan wajib belajar 12 tahun dilakukan secara serentak dan seragam. Kalau dilakukan seragam, sama saja dengan saat masih sistem sentralistik. Yang dibutuhkan adalah adanya sebuah standar nasional. Intinya sama, lulusan SLTA harus memiliki standard kompetensi tertentu (yang akan ditentukan kemudian). Cara mencapainya, diserahkan kepada masing-masing sekolah.

Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun sendiri yang sedang berjalan saat ini, dilakukan melalui jalur sekolah maupun jalur luar sekolah. Program jalur sekolah meliputi program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Pola-pola yang diterapkan di tingkat SD antara lain SD Reguler, SD Kecil, SD Pamong, SD Terpadu, Madrasah lbtidaiyah, Pondok Pesantren, SDLB, dan Kelompok Belajar Paket A.

Sedang pola-pola untuk tingkat SLTP adalah SLTP Reguler, SLTP Kecil, SLTP Terbuka, SLTP Terpadu, Madrasah Tsanawiyah, MTs Terbuka, Pondok Pesantren, SLTPLB, SLB, dan Kelompok Belajar Paket B.

Dari pola-pola tersebut, yang menjadi Pola andalan adalah SLTP Reguler, SLTP Kecil, dan SLTP Terbuka. SLTP Reguler dan SLTP Kecil dikembangkan melalui pembangunan unit sekolah baru (UGS) dan penambahan ruang kelas baru (RKB). Untuk meningkatkan daya tampung, di daerah-daerah tertentu masih diterapkan sistem double shift (murid masuk pagi dan siang/sore hari). SLTP Terbuka dikembang kan untuk menampung siswa yang tidak dapat belajar secara. reguler pada waktu ter tentu. Pola ini lebih menekankan agar siswa belajar mandiri dan berkelompok melalui buku modul dan bimbingan guru pamong dan guru bina. Pada 2001 telah dikembangkan sebanyak 3.485 SLTP Terbuka.

Dilihat dari indikator angka partisipasi, kecenderungan keberhasilan wajib belajar menunjukkan pola yang sama dengan kecenderungan perkembangan jumlah siswa. Data Diknas menunjukkan Angka partisipasi kasar (APK) SD meningkat dari 110% pada tahun 1994 menjadi 113,58% pada tahun 1997. Sedangkan angka partisipasi murni (APM) meningkat dari 93% menjadi 94,96%. Sedangkan untuk tingkat SLTP, APK meningkat dari 53% pada tahun 1994 menjadi 72,56% pada tahun 1997, dan APM meningkat dari 39,9% menjadi 55,92%.

Indikator siswa putus sekolah menunjukkan kecenderungan menurun pada tahun-tahun pertama pencanangan. Pada tahun 1994, jumlah angka putus sekolah SD mencapai 1,2 juta pertahun dan sekitar 454 ribu untuk SLTP. Pada tahun 1997, angka ini menurun menjadi 833 ribu untuk SD dan 365 ribu untuk SLTP. Sejak terjadinya krisis ekonomi jumlah angka putus sekolah membengkak menjadi 919 ribu untak SD (meningkat 86 ribu siswa) dan 643 ribu untuk SLTP (meningkat sebesar 278 ribu siswa).

Dunia pendidikan di Indonesia sendiri pada awal abad XXI ini menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.

Untuk itu perlu langkah-langkah strategis dan terkoordinasi dari semua pihak yang berkepentingan di dunia pendidikan. Sehingga saat era pasar bebas yang sudah didepan mata ini terlaksana, maka SDM kita dapat bersaing dengan negara-negara lain.

COPY:http://www.gn-ota.or.id/aboutus/warta.php?mode=id&id=3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar